Mengungkap Sejarah Panjang Kelenteng Hian Thian Siang Tee: Jejak Budaya Tionghoa di Jawa
Kelenteng Hian Thian Siang Tee berdiri kokoh sebagai saksi bisu perjalanan panjang dan akulturasi budaya komunitas Tionghoa di Jawa, khususnya di Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kelenteng ini bukan hanya menjadi pusat peribadatan utama bagi umat Taoisme dan kepercayaan tradisional Tionghoa, tetapi juga menyimpan lapisan-lapisan sejarah, mitos, dan tradisi yang menarik untuk diulik. Keberadaannya yang diperkirakan telah mencapai lebih dari tiga abad menjadikannya salah satu kelenteng tertua dan paling dihormati di wilayah pesisir utara Jawa.
Sejarah berdirinya Kelenteng Hian Thian Siang Tee diperkirakan berawal pada awal abad ke-18, sekitar tahun 1700-an. Meskipun catatan tertulis yang pasti mengenai tahun pendiriannya sangat minim dan cenderung mengandalkan tradisi lisan serta penemuan artefak, kuat dugaan bahwa kelenteng ini didirikan oleh para pedagang dan perantau Tionghoa awal yang datang ke Welahan untuk berdagang dan mencari penghidupan. Mereka membawa serta kepercayaan dan tradisi leluhur, termasuk pemujaan terhadap dewa-dewi pelindung. Terdapat kepercayaan kuat yang diwariskan secara turun-temurun bahwa kelenteng ini menyimpan dua pusaka kuno yang sangat dihormati, yaitu Kim Sin (arca emas) Dewa Hian Thian Siang Tee dan sebuah Kitab Suci Taoisme kuno yang diyakini dibawa langsung dari Tiongkok oleh seorang tokoh penting yang dihormati bernama Tan Siang Boe. Kedatangan Tan Siang Boe dan pusaka-pusaka tersebut diyakini menjadi cikal bakal berdirinya kelenteng dan mengukuhkan statusnya sebagai tempat suci dengan energi spiritual yang tinggi.
Pada awalnya, bangunan Kelenteng Hian Thian Siang Tee kemungkinan besar berupa struktur sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu, menyerupai perumahan atau tempat pertemuan komunitas Tionghoa pada masa itu. Seiring dengan perkembangan komunitas Tionghoa di Welahan yang semakin makmur dan bertambahnya jumlah umat, kelenteng ini mengalami beberapa kali pemugaran, perluasan, dan renovasi secara bertahap hingga menjadi bangunan megah dengan arsitektur tradisional Tiongkok yang kaya akan ornamen dan detail seperti yang dapat kita lihat saat ini. Dominasi warna merah yang melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan, serta ukiran naga yang merepresentasikan kekuatan dan kemuliaan, menghiasi setiap sudut kelenteng, menciptakan daya tarik visual yang memukau.